Di sebuah media sosial beredar foto, pada tahun 1478, Indonesia masih di masa Kerajaan Majapahit, di Inggris, mulai didirikan Universitas Oxford, ini seakan-akan menafikan Indonesia lebih terbelakang dibanding negara Eropa tersebut. Jika Indonesia masih berupa kerajaan, tentu jalan berpikirnya jauh lebih mundur dibanding Inggris. Benarkah seperti itu?
Fakta di tahun itu adalah masa Majapahit adalah benar, tetapi pikiran bangsa kita lebih terbelakang dibanding Eropa tentu hanyalah khayalan para orientalis untuk meredupkan negeri dengan pemeluk islam terbesar di dunia ini. Faktanya, islam disebarkan di Indonesia pada abad ke-7, banyak sejarahwan yang telah membicarakannya. Dengan sendirinya, asumsi bangsa Indonesia lebih terbelakang dari Eropa juga terbantahkan.
Abad ke-7, adalah masa kelahiran islam yang segera berdiaspora ke timur, di Cina dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, di nusantara, Aceh adalah pintu masuk penyebaran islam, makam Fatimah binti Maimun bertuliskan abad ke-7 menandakan Islam disebarkan sejak awal kelahirannya. Jauh sebelum kolonial dengan maksud terselubungnya mendirikan lembaga pendidikan berbahasa Belanda, dengan metode pengajaran ala Belanda, tiruan dari Majlis Al Arqam telah ditiru oleh ulama-ulama nusantara, mereka mengajarkan tauhid dan berbagai ajaran islam lainnya.
Nusantara Kukuh dengan Syariat Islam
Tentu saja peradaban islam jauh lebih tua daripada kolonial—karena jika dihitung oleh para sejarahwan, Belanda baru menjajah Nusantara sejak tahun 1800-an, itupun tidak merata di seluruh wilayah Nusantara, Aceh bahkan tak pernah dijajah tak lebih dari 50 tahun, karena di masa Perang Aceh hingga tahun 1900-an. Apa yang dinamakan penjajahan atau kolonialisme hanya terjadi di pesisir, bahkan kerajaan Aceh, Samudera Pasai telah berdiri sejak tahun 1400-an, Kerajaan Perlak, Riau Lingga terus hidup dan menjalankan Islamnya. Kota Aceh sebagai Serambi Mekkah, kota Padang, Sumatera Barat yang terkenal dengan semboyannya, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah—adat bersendi syariah, syariah bersendi kitabullah adalah bukti betapa kukuhnya ajaran islam menancap dan menjadi bagian dari hukum dan etika moral sehari-hari.
Sanad Ajaran Sampai Mekkah
Setua itu peradaban islam, Ia menghasilkan output yang gemilang, ratusan pesantren dan ribuan ulama, dari para ulama memiliki murid yang juga tak terhitung jumlahnya. Bahkan sanad mereka terhubung sampai ke Mekkah. Islam dan Jaringan Ulama Timur abad ke-19 menggambarkannya dengan sangat baik. Syeikh Khatib Minangkabawi yang menjadi imam di Masjidil Haram, Nurruddin Ar Raniry yang terkenal dengan syair gurindamnya dengan tema sufistiknya, semua itu maha karya yang membuktikan pendidikan islam begitu kukuh di Nusantara.
Jika pendidikan islam menurut Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al Qur’an adalah seruan pada keinsafan, menuju kesadaran ilahiyah, memiliki kesadaran tauhid yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang berakhlak mulia, sungguh pendidikan kita berhutang budi pada Islam, dengan kata lain islam adalah hadiah besar bagi dunia pendidikan kita.
Ada banyak ‘celupan’ warna pendidikan kita, orangtua bisa memilih pendidikan untuk anaknya, dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda, anak pada hakikatnya suci, orangtuanyalah yang menjadikannya Nasrani, Majusi atau Yahudi. (HR Bukhari-Muslim)
Dengan kontribusi yang begitu besar, mengapa perannya tidak kelihatan? Kita lebih bangga pada Ki Hajar Dewantara daripada KH Ahmad Dahlan, dulu orangtua kita senang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang notabene pendidikan agama islamnya hanya 2 jam dalam seminggu. Bahkan sekolah-sekolah non muslim mencapai kejayaannya dengan prestasi yang diukir, tetapi perlahan namun pasti sekolah islam non pemerintah bangkit dan memberi warna di daerahnya masing-masing. Seiring dengan perubahan paradigma cara berpikir orangtua, pintar adalah nomor sekian, yang penting saleh, jauh lebih menentramkan daripada sekedar saleh tapi tidak pintar.
Begitu juga keberadaan pesantren yang ribuan jumlahnya, bagaimana mungkin tidak terlihat dan kalah dengan sekolah-sekolah non muslim? Di awal berdirinya, sekolah kedokteran jawa, STOVIA misalnya bertujuan untuk memenuhi tenaga kesehatan yang sangat mahal jika harus mendatangkan dari Belanda.
Islamisasi Pengetahuan
Juga masalah islamisasi pengetahuan, sejak era sekularisme di tahun 1924, warisan ilmu keislaman menjadi tercampakkan. Warisan ilmu pengetahuan islam ini maksudnya tidak memisahkan antara fisika dan Al Qur’an, matematika dan Al Qur’an. Kembali ke warisan ulama terdahulu, masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah adalah masa-masa ketika keilmuan islam diterjemahkan ke bahasa Yunani dan diadopsi oleh barat yang menginspirasi zaman baru, zaman pencerahan, renaissance di Inggris dan Aufklarung di Jerman, itu terjadi ketika ilmu pengetahuan tidak dipisah-pisahkan, bagaimana kini kita melupakannya, sungguh sebuah ironi dan perlu kita ingat kembali betapa besar kontribusi islam dalam peradaban. []